Bayangkan bila kita flashback ke sebuah masa, saat negeri kita dikenal dengan nama Nusantara, yang sedang amat berjaya sebelum bernama Indonesia. Kata ‘Nusantara’ berasal dari Bahasa Kawi yang artinya luar pulau (Nusa = pulau; antara = luar). Kata ‘Nusantara’ juga termuat dalam kitab Negarakertagama dalam konsep ketatanegaraan jaman Majapahit. Kawasan ‘Nusantara’ meliputi sebagian besar Asia Tenggara, utamanya yang bergugus pulau-pulau.
Loh, Kok, Luar Pulau?
Ya, dalam konsep kenegaraan Jawa abad ke-13 hingga ke-15, jamannya Kerajaan Majapahit berjaya, Negara dibagi menjadi tiga wilayah bagian yakni Negara Agung, Mancanegara, dan Nusantara. Nah, daerah sekeliling ibukota kerajaan dimana raja berada dinamakan Negara Agung. Lalu, daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitarnya yang memiliki latar belakang budaya yang hampir sama, seperti Bali, Madura, Lampung, Palembang (yang dikenal dalam gugusan kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil) disebut daerah Mancanegara. Sedangkan, Nusantara diartikan pulau yang berada di luar Jawa yang daerahnya di luar pengaruh budaya Jawa, yang notabene diklaim sebagai daerah yang harus ditaklukan.
Setelah Majapahit runtuh, kata Nusantara tetap hidup dalam sastra-sastra melayu dan manuskrip kuno, hingga terjadi penggunaan kembali istilah Nusantara pada tahun 1920-an oleh Ki Hajar Dewantara yakni Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, untuk menyebut wilayah Hindia Belanda.
Ingat ‘kan kita pernah dijajah Belanda 350 tahun lamanya?!
Ya, itulah kemudian cikal bakal lahirlah istilah “Indonesia” yang diperkenalkan oleh Douwes Dekker, sebagai nama sebuah bangsa, kebangsaan bagi negara pelanjut Hindia Belanda pada Kongres Sumpah Pemuda II tahun 1928. Namun, lahirnya nama “Indonesia” tidak menenggelamkan kata “Nusantara” itu sendiri. Dalam perkembangannya, kata “Nusantara” tetap digunakan mengacu pada kebangsaan Indonesia, yang akhirnya menjadi sinonim “Indonesia” itu sendiri.
Jadi, Nusantara?
Ya itulah, mengapa dalam perencanaan Ibu Kota Nusantara, yang mana ibu kota baru terletak di Kalimantan Timur itu, diberi nama Nusantara. Karena, selain tercatat dalam naskah Salasilah Kutai disebut wilayah Nusantara pada abad ke-13, itu karena pulau Kalimantan itu sendiri adalah luar pulau Jawa, yang dikategorikan sebagai wilayah Nusantara (dalam kenegaraan Jawa era Majapahit).
Dalam Bahasa Bali, kata “Manusia” diterjemahkan dan dilafalkan dengan “Manusa”. Kata “Manusa” itu sendiri, diurai oleh para pujangga suci Bali masa lampau, menjadi dua kata, ‘Manu’ dan ‘Sa’. Dalam Bahasa Bali, kata ‘Manu’ merujuk pada ‘Manuh’ yang artinya menurut, patuh, pendiam. Sedangkan dalam Bahasa Sansekerta, artinya makhluk berakal budi, mampu berfikir, menguasai makhluk lainnya. Dalam etimologi Agama Hindu, “Manu” merujuk kepada leluhur manusia pada setiap jaman.
Pujangga suci Bali memaknai artikel ‘Sa’ pada kata “Manusa”, sebagai “Sasana atau Sesana” yang diartikan tata laku, petunjuk/kaidah berperilaku. Hal ini senada dengan arti “Sasana” dalam KBBI, yakni pelajaran, petunjuk, nasihat. Selain itu, dalam serat Sunda Kuno, yakni dalam naskah Sanghyang Sasana Maha Guru, kata “Sasana” diartikan sebagai peninggalan para leluhur.
Merujuk pada hal tersebut, Manu Sasana mengandung makna filosofis tentang hakekat manusia yang mampu berpikir, berakal budi, yang mana dalam perjalanan kehidupannya patuh atau manut kepada kaidah-kaidah/tata laku hidup yang diwariskan oleh para pendahulunya, sebagai penggerak kehidupan.
Jadi, Manu Sasana Nusantara dalam laman ini, yang digambarkan penulis, adalah manusia Nusantara yang menghargai peninggalan para leluhurnya terdahulu (budaya, tradisi, adat istiadat, dsb.) dengan patuh dan manut untuk menjalani apa yang dipesankan/dititipkan oleh para pendahulunya dan juga manusia yang mampu berfikir dan berakal budi, sehingga dapat menggerakan kehidupan peradaban Nusantara. (ag)